Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 07 Januari 2015

My ‘Apes’ Day






Perjalanan ini sering gue sebut sebagai perjalanan mencari inspirasi, di mana gue berkunjunng ke tempat-tempat random, sendirian, hanya untuk mencari sesuatu untuk ditulis, dan salah satunya ini. Gue didukung teori sesat yang bisa ngejawab pertanyaan kenapa perjalanan ini cuma ngelibatin diri gue sendiri aja. Bukan, bukan karena nggak ada yang mau nemenin gue, atau gue ini adalah jomblo stadium akhir, tapi :

“Saat kamu benar-benar dalam keadaan sendiri, kamu akan lebih mengenal dirimu sendiri dan tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan dan layak untuk diperjuangkan.” ~ Teori sesat gue.

Selain mencari inspirasi, gue juga mencari kejadian unik yang bisa dan selalu gue harapkan selama perjalanan. Gue punya hobi buat ngobrol sama orang-orang random yang sebelumnya nggak gue kenal, disepanjang perjalanan. Dari mereka, setidaknya gue bisa dapet pelajaran maupun pengalaman baru, atau mungkin mendengar sepenggal kisah hidup mereka. Dan perjalanan itu berawal dari pagi itu..

***

Jam 8 pagi. Waktu itu gue lupa hari apa, yang gue inget, pagi itu adalah weekend dan sehari sebelumnya adalah hari sabtu. Kenapa gue bisa lupa? Mungkin karena sabtu sorenya gue udah tidur guna melindungi mata gue dari bedebahnya suasana sabtu malam yang menyiksa batin.

Pagi itu gue terbangun gegara sebuah benda –yang biasa orang menyebutnya Hape, ngeluarin dering tanda ada pesan masukk yang pengirim dan isi sms nya nggak lebih penting dari alasan gebetan nolak kamu karena “Kamunya terlalu baik”. Sms nista itu berasal dari operator selular dan isinya kurang lebih ucapan termakasih karena sehari sebelumnya gue udah isi ulang pulsa. Tidur adalah agenda rutin gue tiap weekend pagi setelah sholat shubuh, (iya, beneran sholat shubuh). Gue punya alasan absurd untuk jawaban atas pertanyaan kenapa gue selalu tidur diweekend pagi dan bukannya lari pagi sambil berzikir, berharap ada yang bisa gue gebet pagi itu. Alasannya, tiap gue tidur (lagi) diweekend pagi, gue selalu ngedapetin mimpi-mimpi yang nggak kalah absurd dari alasan gue tadi. Dimimpi-mimpi gue itu, gue pernah hidup dimasa kerajaan Yunani, penjajahan Belanda dan tempur bareng Sudirman, mimpi jadi Avatar –sang penyelamat dunia, dan terakhir,  gue pacaran sama Mary elizabeth winstead.

Hape gue matiin dan berencana melanjutkan ‘ritual’ tidur gue weekend itu. Belum 5 menit, hape gue berdering lagi isyarat ada pesan masuk. Seketika mood gue buat hibernasi weekend itu jadi hilang sesaat setelah membaca sms yang isinya :

“Dek, udh mandi blm? Kalo udh, jemput mama sekarang, ya!”

Belum 6 menit, gue udah nyalain mesin motor dengan kondisi badan yang udah mandi 4 sehat 5 sempurna. Satu-satunya alasan gue ngebatalin agenda tidur gue weekend itu adalah karena takut dikutuk seumur hidup gak pernah ngerasain pacaran sama orang yang bener-bener tulus sama gue~.

Siang itu cuaca cukup panas dan lagu closer-nya Inoue joe yang gue dengar lewat earphone diharapkan mampu memberikan sugesti dingin diotak gue. Gue memacu motor dengan kecepatan yang terbilang stabil. Dari kejauhan, gue melihat seorang pengendara motor dengan lampu sein kanan motor dengan kondisi On dan berada dillajur kiri. Jarak antara gue dan pengendara motor itu semakin dekat dan gue melihat sosok ibu-ibu di sana. Gue mencoba memaklumi kekeliruan dia soal lampu sein itu. Tanpa rasa curiga, gue mencoba menyalip ibu-ibu tadi dari lajur kanan. Tetapi, dengan sekonyong-konyong ibu-ibu itu langsung belok kanan dan melintas tepat didepan motor yang gue kendarai. Spontan, rem mendadak dan gelengan kepala yang saat itu lakukan. Nggak ada kata maaf yang terlontar ataupun sekedar sebungkus nasi padang yang gue harapkan dari ibu-ibu tadi. Setelah insiden itu, gue jadi semakin yakin dengan teori gue yang isinya :

“Kapan kiamat itu tiba? Ketika ibu-ibu benar-benar paham dengan aturan dan tata cara dalam berkendara motor, dan nasi goreng sudah menjadi makanan ilegal di bumi.”

Sore weekend itu gue awali dengan berpamitan ke ibu gue. Sore itu gue harus balik lagi ke kos an karena besoknya harus mulai kuliah lagi. Tetapi sebelum ke kos an, gue berencana untuk jalan-jalan ke kota tua –sebuah tempat wisata dibilangan Jakarta, sendirian…

***

“Mas, kalo mau ke Tebet, transitnya di stasiun mana, ya?” Tanya seorang ibu di belakang gue dengan jilbab hijau dan berbadan kekar di depan loket tiket disebuah stasiun daerah Bekasi.

“Nanti ibu transitnya di stasiun Manggarai.” Jawab gue sambil menenggak cocktail yang baru gue beli sore itu.

“Oh, Manggarai itu stasiun ke berapa setelah stasiun Bekasi, ya, Mas?” Ibu berbadan kekar itu bertanya lagi. Kali ini diikuti dengan tangan kanannya yang mengangkat barbel.

Sesaat, gue menelan ludah dan menjawab, “hmm.. sa.. saya kurang tau, bu. Tapi nanti ibu bareng saya aja. Nanti saya kasih tau kalo udah sampai Manggarai.”

Mungkin saat itu nggak seharusnya gue ngasih tawaran itu ke ibu berbadan kekar yang doyan barbel-an itu. Terbukti, dari awal kami duduk di kereta, sampai akhirnya ibu itu turun, beliau nggak hebti-hentinya mengisi telinga gue dengan cerita-ceritanya. Berawal dari menodong gue dengan pertanyaan-pertanyaan semi-retoris kayak:

“Mas, udah pernah pacaran?”

“Belum.” Jawab gue sopan. Takut kalo nanti malah ada barbel nyasar ke tenggorokan gue.

“Nggak bosen, Mas?” Ibu itu kembali melanjutkan pertanyaan retoris  nya.

 “Dulu waktu ibu seusia kamu, ibu udah 6 kali pacaran.” “Waktu itu…..”

Itu adalah kalimat pembuka dari kisah-kisah cinta –yang menurut ibu itu paling bahagia, padahal buat gue enggak, yang beliau suguhin ke gue sepanjang perjalanan. Waktu itu gue cuma punya dua pilihan. Pertama, menjadi pendengar yang baik. Kedua, ngajakin ibu itu duel. Gue, yang berbekal alumni anak karate sabuk merah, pastinya punya peluang menang lebih besar ketimbang ibu berbadan kekar itu. Tapi, karena gue nggak mau ada pertumpahan darah di kereta, akhirnya gue memilih pilihan pertama.

Sebagai buah dari kesabaran gue mendengar cerita panjang yang sebenernya ngebosenin dari ibu ber-barbel itu, gue jadi dapet banyak pelajaran, dan sebelum ibu itu mengakhiri ceritanya, beliau sempat berpesan:

“Jika kamu ingin mengetahui seseorang yang benar-benar tulus sama kamu, jangan tunjukkan semua kelebihan yang kamu punya, tapi tunjukkan semua kekurangamu. Jika dia bertahan, maka dia lah orang yang benar-benar tulus sama kamu.”

Sebelum ibu itu turun dari kereta, beliau juga memberikan nomor handphone. Bukan, bukan nomor handphone nya dia, melainkan nomor handphone keponakan ceweknya yang bernama Theresa.

Kereta yang kami tumpangi tiba di stasiun Manggarai, dan ibu tadi turun dari kereta setelah sebelumnya berpamitan dan mengucapkan terimakasih ke gue. Banyak penumpang yang turun, tetapi banyak juga penumpang yang naik, termasuk kakek-kakek tua yang sekarang duduk di sebelah gue.

Ibarat lepas dari lilitan ular dan masuk ke rahang buaya, sekarang gue harus ngeladenin orang yang menurut gue berpotensi ngebetein kayak ibu-ibu ber-barbel tadi. Gimana keseruan perjalanan gue hari itu dan pelajaran apa yang bisa gue ambil dari kakek ini? Nantikan kisahnya dipostingan gue selanjutnya. Tapi bukan janji~



To Be Continued….




Tidak ada komentar:

Posting Komentar