Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 23 Maret 2014

Love In Rain

“Dunia ini hanya mengakibatkan kebencian dan rasa sakit, tanpa ada cinta di dalamnya” –Obito Uchiha.

Sekarang aku tahu makna kalimat itu. Ya, hidup di dunia ini hanya mengakibatkan kita merasakan rasa sakit dan penderitaan. Aku sudah mengenal semua itu dari keluargaku. Ayah dan ibuku seringkali mempertontonkan “aksi” mereka di depanku ketika aku kecil. Meskipun sekarang mama dan kakakku terus menerus mengajarkan dan menanamkan cinta dalam diriku, sayangnya hati ini sudah terlalu terbuai dalam kebencian dan rasa sakit. Aku berusaha menemukan cinta di luar sana. Tetapi, hal itu justru meyakinkanku pada teori awalku tadi, sampai akhirnya aku bermimpi untuk menciptakan duniaku sendiri. Dunia di mana tidak ada kebencian dan rasa sakit di dalamnya. Dunia yang penuh dengan cinta. Aku akan menciptakan “duniaku” sendiri di dalam setiap tulisanku.

“Halah, lo bilang gitu karena kemaren abis ditolak Naya, kan?” Ketus Tito saat kami berjalan di koridor kampus. Tito adalah teman dekatku, atau mungkin hanya dia saja temanku di kampus. Entahlah, apa yang membuat kami menjadi dekat seperti sekarang. Padahal kami selalu berbeda pemikiran, berbeda pandangan, kegemaran, dia menyukai setiap kegiatan yang melibatkan orang banyak seperti futsal, sedangkan aku lebih memilih kegiatan yang melibatkan diri sendiri seperti halnya menulis. Kami juga selalu beradu argumen. Dia selalu menentang teoriku, sedangkan aku selalu membela teori yang aku ceuskan. Mungkin perbedaan inilah yang membuat pertemanan kami bertahan lama hingga sekarang. Mungkin.
“Nanti lo juga bakal ngeti deh kalo semakin lama kita hidup di dunia ini, maka semakin banyak rasa sakit yang kita derita” Terangku menanggapi argumen Tito tadi dan berusaha membela teoriku. “Lu itu kebanyakan teori, mending lu ikut gue aja futsal! Biar otak lu agak jernihan dikit!” Ucapnya seakan ingin mengalihkan pembicaraan tadi. “Haa? Sejak kapan gue suka futsal? Nggak, gue mau langsung balik, soalnya masih banyak urusan.” “Urusan lo yang mana? Yang bikin dunia bodoh lo itu ya? Hahaha!” Ucapnya seraya berlari meninggalkanku.
Awan gelap menggulung langit Jakarta siang itu. Aku terduduk disebuah halte yang tak jauh dari kampus lengkap dengan wajah yang menyiratkan kejenuhan. Hujan mulai turun membasahi jalan dan orang-orang yang berlalu-lalang di atasnya. Aku memperhatikan banyak pengendara motor yang menepi untuk berteduh dan ada juga yang tidak peduli dengan hujan yang membasahi pakaian mereka, seolah menyiratkan kepasrahan mereka akan hujan. 30 menit dan bus yang kutunggu tak juga datang. Aku mulai heran kenapa alam dan situasi mau berkolaborasi untuk terus menahanku berada di tempat ini.
Aku sangat menyukai hujan. Bagaimana mereka menyerbu daratan dengan harapan agar manusia tidak kekurangan air. Aku sangat menyukai hujan dan suara yang ditimbulkannya. Hujan memang memiliki suara yang khas dan banyak orang terhipnotis karenanya. Tak jarang, banyak imajinasi dalam setiap tulisanku yang berasal dari mereka. Hal itu juga yang berusaha aku manfaatkan sekarang. Aku mengambil buku dan ballpoint untuk sekedar menghabiskan waktu menunggu bus. Aku melamun sejenak untuk menangkap imajinasi-imajinasi liar dikepalaku.
Lamunanku terhenti ketika melihat seorang gadis berkacamata dengan payungnya datang menuju halte. Tidak, dia bukan datang ke arahku, tetapi dia datang dan menuju halte di seberang jalan tepat di depan halteku duduk di sini. Dia datang dengan sebiah buku dan alat tulis. Gadis itu mengenakan switer biru muda lengkap dengan syal yang melilit di lehernya. Dengan rambut lurus yang tergerai miliknya itu, aku menjadi semakin yakin dan heran. Yakin bahwa dia adalah gadis rumahan yang memang sengaja datang ke tempat ini disaat hujan. Tapi untuk apa? Aku heran dengannya karena disaat orang-orang berdiam di rumah mereka ataupun mengunjungi café terdekat untuk sekedar menghangatkan diri saat hujan, dia justru meninggalkan rumahnya dan mengunjungi tempat ini hany6a untuk bersenda gurau dengan hujan di sekelilingnya? Terlebih aku heran dengan perasaan yang berkecamuk di dalam diriku. Apakah ini hanya sekedar perasaan kagum dengannya ataupun hanya penasaran karena keunikannya? Bagaimana mungkin aku menyukainya padahal aku telah menghilangkan kata cinta dalam kamusku? Aku terus menghujani diriku dengan pertanyaan.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan yang kubuat sendiri, gadis berkacamata itu melemparkan sebuah senyuman ke arahku dengan tatapan matanya yang teduh. Belum kujawab senyumnya, bus yang kutunggu tiba dan langsung menghalangi senyum indah miliknya. Aku segera menaiki bus dan sebelum bus itu melaju, aku mencoba melihatnya dari kaca bus. Aku melihat tatapan matanya yang tenang dengan wajah yang terlihat fokus dengan benda yang dibawanya tadi. Entah, entah apa yang digoreskannya dikertas itu.
“Lo beneran gak mau bareng gua pulangnya?” Tanya Tito ketika kelas kami telah usai. “Nggak, gua mau naik bus aja. Ada seseorang yang mau gue liat lagi siang ini.” Jawabku seraya melemparkan senyum ke arahnya. “Ciee, sekarang udah ada someone yang bisa ngerusak teori bodoh lo itu ya? Hahaha.” “Nggak, teori gue masih berdiri kokoh. Gue Cuma penasaran aja sama orang ini.” Jawabku sambil mengambil tasku dan meninggalkan kelas yang saat itu masih ramai karena salah seorang temanku menyatakan cintanya dihadapan teman-temanku yang lain. Sungguh, aku benar-benar tidak peduli dengan hal itu.
Siang itu cuaca sangat panas dan aku sengaja keluar kelas lebih awal demi melihatnya di sini. Kali ini aku dudul di halte tempat kemarin dia duduk. Aku berharap bisa mengenal dia hari ini, di sini. Satu, dua, tiga jam aku menunggu dan dia tidak kunjung datang. Harapanku untuk melihatnya hari ini gagal. “Aku akan kembali lagi besok” pikirku seraya meninggalkan halte itu.
Satu, dua, tiga, empat hari kulalui tanpa melihat mata teduhnya sejak hari itu. Aku masih menunggu kehadirannya di tempat ini, di halte ini. Aku mulai berpikir bahwa pertemuan pertamaku dengannya saat hujan itu sekaligus menjadi pertemuan terakhir kami. Disisi lain , aku juga berpikir bahwa dia hanya akan datang ke sini hanya disaat hujan. Karena selama 4 hari ini hujan tidak juga datang seperti kehadirannya. Mungkin dia hanya akan datang bersama hujan. Ketika aku masih bertanya-tanya akan dirinya, tiba-tiba bus yang kutunggu datang. Perlahan aku membangunkan tubuhku dan segera melangkahkan kaki menuju bus. Sebuah langkah kaki orang yang hamper kehilangan harapan. Sebelum bus beranjak, aku menyempatkan mataku untuk melirik ke tempat itu, sayang, hasilnya tetap sama.
Hari ke-5. Pagi itu hujan turun sengan derasnya tanpa belas kasihan, seakan menyiratkan setiap orang untuk tetap berlindung di tempat persembunyian mereka. Tetapi, hujan inilah yang menyulutkan semangatku untuk pergi ke kampus pagi itu. Semangat atas harapan bertemu dengannya. Aku pergi ke kampus dengan membawa harapan baru, harapan untuk bertemu dengannya nanti.
Siang itu hujan masih memberikan harapan kepadaku. Begitu kelas usai, aku langsung berlari tanpa mempedulikan ocehan Tito yang daritadi mengejekku gara-gara semalam klub bola yanh aku dukung kalah melawan klub rival. Aku tiba di halte itu dan tanpa melihat kehadirannya lagi. Aku memutuskan menunggunya di tempat itu. Tempat pertama kali aku melihatnya.
1 jam aku menunggu dan gadis berkacamata itu tidak juga muncul. Perlahan aku mulai menutup pintu harapanku terlebih bus yang aku tunggu segera tiba. Lagipula, bagaimana mungkin aku menyukai seseorang yang bahkan kami belum saling kenal. Rasanya, aku tidak memiliki hak untuk menyukainya. Saat aku ingin bangkit dari bangku halte, “Hai, aku Andhira, boleh aku duduk di situ?” sapa seseorang dari samping yang malah mengagetkanku. Aku menoleh ke sumber suara dan… ya! Gadis berkacamata itu kini tepat di sampingku. “A.. aku Zikri, Boleh, ini kan tempat umum.” Jawabku asal. “Hehe, aku selalu datang ke tempat ini saat hujan.” “Kenapa?” tanyaku selidik. “Aku banyak mendapatkan inspirasi dari setiap gambarku saat hujan di sini. Makanya aku membawa ini.” Jelasnya seraya memperlihatkan buku dan alat tulis yang dibawanya. Kalimat singkat itu menandai awalnya obrolan panjang kami siang itu dan dengan ditemani rintihan hujan.
Aku bisa merasakan cinta bahkan ketika tidak ada dari kami yang mengucapkannya. Bagiku, cinta itu butuh ungkapan lisan. Asalkan mata dan mata bertemu, dan kedua hati berbicara, maka kita dapat merasakan cinta yang sesungguhnya. Aku merasakannya saat itu, bersamanya. Andhira adalah satu-satunya alas an aku mengembalikan lagi kata cinta yang sempat hilang dari kamusku. Dia adalah orang yang dapat mencabut teori kebencian yang selama ini aku tanam dalam hatiku. Dengannya, aku menemukan dan merasakan apa itu cinta…..
Cinta menjadi akhir kata dari cerpen yang baru saja aku selesaikan siang itu, di halte itu. “Ternyata satu cerpen belum juga cukup untukku menunggu bus yabg dapat mengeluarkanku dari tempat ini.” Desisku. Hujan yang turun saat itu seolah ikut menahanku di tempat itu lebih lama. Entah berapa lama aku berada di tempat ini. Tiba-tiba aku merasakan seseorang mendekatiku. Aku menyempatkan mataku untuk melirik ke arah orang tersebut. Aku melihat seorang gadis berkacamata, dengan syal, lengkap dengan peralatan yang dibawanya. Gadis itu benar-benar mirip dengan gadis dalam cerpen yang baru saja aku buat saat itu.
Aku terkejut dan dengan spontan mengucap, “Andhira!”. Dia terkejut dan langsung menoleh ke arahku. “Bagaimana kamu tau nama aku?” Tanyanya dengan wajah bingungnya seraya melemparkan senyum ke arahku. Senyum yang sama dengan senyum yang ada didalam imajinasi cerpenku. Sekarang aku bukan hanya menemukan dan merasakan cinta di dalam “duniaku” saja, tetapi aku juga merasakannya di sini, di duniaku yang nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar