Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 07 Januari 2015

My 'Apes" Day Part II



“Dek, ini kereta tujuan ke Jakarta Kota, kan?” tanya seorang kakek yang sekarang duduk di sebelah gue.

Mendengar panggilan, “Dek”, gue jadi sangat yakin kalo panggilan itu bukan ditujukan ke gue. Tapi, setelah gue memutar mata ke sekeliling, ternyata yang berusia paling muda adalah gue. Terlebih, wajah kakek itu melihat langsung ke arah gue. Oke, untuk yang satu ini, sebagai seorang remaja 18 tahun bertampang sangar dan rambut semi-kribo, gue ngerasa gagal.

“Iya, kek” Jawab gue singkat. Sesingkat hubungan kamu sama dia. Karena dia ketahuan selingkuh sama . . . . tetangga mantannya.


Kakek ini penampilannya rapih, sangat rapih dengan seetelan kemeja motif batik hijau muda dengan warna dasar cokelat dan celana hitam panjang. Badannya tegap dengan dada yang lumayan bidang untuk orang seusianya. Sorot matanya sangat jelas menggambarkan bahwa dia adalah orang yang tegas. Belum sempat gue menerka-nerka lebih dalam mengenai sifat kakek ini, beliau memperkenalkan diri.

“Nama kakek, Wiryo. Kakek dulu mantan tentara yang ikut berjuang mengusir penjajah dari negeri kita.” Ucapnya dengan suara agak keras.

Seolah dia yakin gue kurang percaya dengan apa yang dia katakan, beliau mengambil sesuatu dari dalam tas besarnya.

“Kalo kamu tidak percaya, ini kakek kenalin sama temen seperjuangan kakek dulu.” Kakek wiryo mengeluarkan senjata api M4A1 nya. Seperti layaknya orang yang sudah mahir “mainan” senjata, beliau melepaskan pengaman senjata yang membuat kondisi peluru menjadi standby dan siap nmelesat dari piston gas hingga ke kamar peluru. Entah dari mana gue tahu-menahu soal sistem kerja senjata api. Gue Cuma bermodalkan gelar alumni gamer point blank. Point blank itu apa? Oke, kalo gue jelasin di sini, takutnya tulisan gue bakal ber-ending tertariknya kalian untuk membeli senjata api dari mafia-mafia Zimbabwe.

Selanjutnya, kakek Wiryo mulai membidik salah seorang penumpang di depan kami. Kebetulan, saat itu hanya kami berdua yang tetap terjaga dan nggak nunduk (baca: mainan gadget) di gerbong kereta itu.

Ngeliat kakek Wiryo yang sudah standby membidik penumpang di depan kami, gue langsung melihat sekitar, berharap ada batu bata atau benda keras lainnya yang bisa gue benturkan ke kepala kakek sesat itu. Sehingga dia sadar kalo yang sedang dibidiknya itu manusia, bukan sasaran tembak (baca: hati gebetan).

Apa reaksi gue saat itu? Panik, kalut. Alasannya? Gila aja lo! Ehm, panik gue beralasan. Gue takut kalo nantinya gue dikira salah satu sindikat KKP (Komplotan Kakek Perompak)-sebuah sindikat yang terdiri dari kakek-kakek desperate yang doyan nembakin orang-orang random dengan senjata api. Gue juga takut kalo nanti gue malah menghabiskan masa-masa remaja gue di balik jeruji besi yang dingin, dan bukannya terperangkap di balik jeruji cinta kamu yang hangat dan selalu bisa membuatku nyaman. Oke, ini random, banget.





“Hahaha, tenang, dek! Ini Cuma senjata mainan yang baru kakek beli buat cucu kakek, kok!” Ucap kakek perompak, ehm, maksud gue kakek Wiryo setelah ngelihat muka gue yang udah panik klimaks.

“.....” gue, yang nggak sanggup berkata-kata lagi, Cuma bisa tersenyum kecut. Miris.

Kemirisan gue gak berhenti sampai di situ. Entah karena mantan serdadu atau apa, suara tawa kakek Wiryo terdengar 23 kali lebih keras dibanding ketika dia berbicara. Alhasil, semua penumpang yang tadinya tidur maupun yang pura-pura tidur (baca: mereka yang nggak mau memberi tempat duduknya kepada mereka yang lebih prioritas), menjadi menengok ke arah gue.

Entah apa yang ada dipikan orang-orang yang ngelihatin gue itu. Saat itu, yang mereka lihat: seorang kakek dengan senjata mainan dan seorang pemuda tambun berbadan kurus (iya, itu gue) yang duduk di sebelahnya dengan keringat bercucuran dari tubuhnya dan mimik wajah yang masih terlihat panik.

Mungkin yang orang-orang pikir setelh ngelihat kondisi gue adalah: seorang pencopet yang ngerasa gagal dan depresi setelah mengetahui sang target ternyata membawa senjata api . . . . . mainan. Gue beneran nggak tahu apa yang ada dipikiran orang-orang saat itu. Karena, ngebaca hati gebetan aja gue nggak bisa, apalagi ngebaca pikiran orang-orang yang belum gue kenal?. Entah di mana korelasinya . . . .

Saat itu, gue cuma berharap nggak ada yang kenal gue di kereta itu. Meskipun ada, gue bakalan pura-pura nggak kenal dan amnesia mendadak.

Sebelum terjadi kepanikan massal, gue langssung bergegas pergi untuk mencari tempat duduk yang lain.

“Eh, dek! Mau ke mana?” tanya kakek Wiryo seraya menarik tangan gue.

“Ehm, mau nyari toilet, kek!” jawab gue asal.

“Loh, bukannya di dalam gerbong kereta itu nggak ada toilet, ya?” Pertanyaan kakek Wiryo semakin menyudutkan gue. Antara kakek Wiryo itu terlampau jenius atau jawaban gue yang terlalu . . . . bodoh.

Akhirnya, gue mutusin buat balik ke tempat duduk tadi dan kakek Wiryo mulai bercerita tentang pengalamannya dia bertempur bareng Jenderal Sudirman buat mengusir penjajah.

Iya, gue benar-benar sudah terperangkap di dalam rahang buaya dan nantinya gue akan dikunyah-kunyah untuk kemudian masuk ke dalam perut buaya yang penuh dengan kemirisan.

Singkat cerita, kakek Wiryo mengakhiri kisahnya dengan kemenangan telak Indonesia melawan penjajah. Keren, adalah kata yang pantas untuk menggambarkan sosok kakek Wiryo. Semangatnya dari dulu nggak pernah padam hingga sekarang. Itu semua bisa gue lihat jelas dari balik sorot matanya.



Sesaat sebelum turun, kakek Wiryo sempat memberikan wejangan, full bahasa jawa, yang sama sekali nggak gue pahami. Waktu itu yang terdengar jelas ditelinga gue adalah kata-kata: koe, rapopo, jenenge, mboten. Selebihnya? Absurd abis. Atas alasan nggak mau kehilangan momen itu, gue langsung merogoh saku celana buat mengambil hape dan merekam setiap kalimat yang disampaikan kakek Wiryo. Selanjutnya, oleh ibu gue, isi rekaman itu akan di-translate dan di transkip ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Setelah berdiskusi panjang selama 3 hari 5 malam dengan mama, akhirnya isi rekaman itu sukses gue transkip dan isinya,

“Dek, (Iya, gue masih dipanggil “dek”), selain kakek jago menembak kepala penjajah yang mengganggu negeri kita dulu, kakek juga jago dalam menembak gebetan. Terbukti, dari 8 kali menembak peluru cinta ke hati gebetan, 7 diantaranya mengenai sasaran. Satu hal yang harus kamu tahu, menembak gebetan itu butuh waktu yang pas. Alih-alih mau tepat sasaran, eh malah nggak kena sasaran kalo kamunya terlalu gegabah. Kapan waktu yang tepat untuk menyatakan cinta? Ketika kamu dan dia sudah merasa saling ketergantungan satu sama lain. Ketika kamu bukan lagi menempatkan dia sebagai keinginan atau obsesimu saja, tapi sebagai kebutuhan. Ketika kamu yakin apa yang kamu rasakan itu adalah cinta, bukan sebatas suka atau kagum belaka dan kamu sama sekali tidak memiliki alasan ketika mencintainya, sehingga nantinya kamu juga tidak memiliki satu alasan pun untuk meninggalkannya.”

Belakangan ini, gue juga mikirin jawaban dari pertanyaan yang gue buat sendiri. Pertanyaan itu sukses bikin otak gue kehilangan fungsinya.

“Jika tidak dibutuhkan alasan ketika mencintai seseorang, apa masih dibutuhkan alasan untuk membencinya?”

****

“Mas ....”

“Mas ....”

“Mas ..!!” Suara yang terakhir sukses bikin gue kaget dan terbangun dari tidur gue.

“Mas, ini kereta yang terakhir dan udah mau sampai di stasiun akhir, stasiun Depok. Mas, mau turun di mana?” tanya seorang petugas kereta untuk memastikan kalo gue nggak salah tujuan.

“Iya, ini saya mau turun.” Jawab gue sambil ritual ngucek-ngucek mata layaknya orang normal yang habis bangun tidur.

“Oh, yaudah.” Kemudian petugas kereta itu berlalu dari hadapan gue.

Gue merogoh kantong untuk melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 9 malam. Karena, sudah terlalu larut, gue mutusin buat balik ke kosan dan mengurungkan niat ke kota tua hari itu. Di sisa perjalanan, gue berusaha mengingat kembali apa yang membuat gue tertidur di kereta. Terakhir kali yang gue inget, saat itu kakek Wiryo lagi ngasih wejangan dengan full bahasa jawa. Mungkin karena berasa kayak lagi di-sindenin, gue jadi ngerasa ngantuk dan akhirnya ketiduran di kereta.



Keluar dari stasiun Depok, gue langsung mencari angkutan kota (angkot) yang bersedia gue tumpangi sampai ke kosan dan selang beberapa menit, angkot yang gue tunggu tiba. Sebelum naik, gue ingin memastikan dulu spesies-spesies apa yang berada di dalam angkot tersebut. Langkah gue terhenti setelah ngelihat banyak cewek-cewek dengan ketebalan bedak make-up yang nggak wajar. Mereka duduk di kursi penumpang bagian belakang. Belum lagi suara berisik mereka yang menganggu konsentrasi gue dalam memikirkan ending dari tulisan sesat gue ini. Demi menjaga kesehatan paru-paru gue dari TBC dini gara-gara bedak dan atas pertimbangan yang lainnya, gue memiih duduk di depan, tepat di samping supir.

40 menit perjalanan yang sudah ditempuh gue habisin buat mikirin gimana ending yang keren buat tulisan sesat ini. Belum sempat menemukan ending tulisan, pikiran gue teralihkan ketika mendengar opening sound track anime naruto yang berjudul “Nami Kaze Satellite” yang sengaja diputar oleh supir angkot untuk mengusir sepi. Sontak, gue langsung ngerasa sok akrab dan jadi sok asyik dengan sang sopir. Iya, gue adalah tipikal orang yang gampang ngerasa sok akrab dan deket dengan orang-orang random yang memiliki kesamaan hobi dengan gue. Terakhir, gue ngerasa sok akrab dengan preman-preman pasar Tanah Abang setelah gue tahu ternyata mereka doyan nonton spongebob. Perjalanan hari itu gue tutup dengan duet maut karaoke bareng supir angkot disepanjang perjalanan.

Singkat cerita (ini udah ending nih), gue sampai di kosan dengan selamat. Saat gue bersiap untuk tidur, gue mendapati secarik kertas yang berisi nomor hape Theresa, keponakannya ibu kekar yang doyan banget barbelan. Tanpa menunggu status gebetan dari single menjadi pacar orang, gue langsung menyambar hape untuk mengirim sms ke Theresa. Sms itu baru berbalas di keesokan paginya. Balasan sms pertama dari Theresa sukses mengagetkan gue dan membuat urat leher gue ketarik hingga belakang gara-gara kebanyakan tersenyum gila. Apa isi balasan sms dari Theresa? Dan kenapa bisa bikin gue kaget sekaligus senyum-senyum gila sendiri? Coba di cek sendiri di hape gue~



The end


Tidak ada komentar:

Posting Komentar