“Dek, ini kereta
tujuan ke Jakarta Kota, kan?” tanya seorang kakek yang sekarang duduk di
sebelah gue.
Mendengar
panggilan, “Dek”, gue jadi sangat yakin kalo panggilan itu bukan ditujukan ke
gue. Tapi, setelah gue memutar mata ke sekeliling, ternyata yang berusia paling
muda adalah gue. Terlebih, wajah kakek itu melihat langsung ke arah gue. Oke,
untuk yang satu ini, sebagai seorang remaja 18 tahun bertampang sangar dan
rambut semi-kribo, gue ngerasa gagal.
“Iya, kek” Jawab
gue singkat. Sesingkat hubungan kamu sama dia. Karena dia ketahuan selingkuh
sama . . . . tetangga mantannya.
Kakek ini penampilannya rapih, sangat rapih dengan seetelan kemeja motif batik hijau muda dengan warna dasar cokelat dan celana hitam panjang. Badannya tegap dengan dada yang lumayan bidang untuk orang seusianya. Sorot matanya sangat jelas menggambarkan bahwa dia adalah orang yang tegas. Belum sempat gue menerka-nerka lebih dalam mengenai sifat kakek ini, beliau memperkenalkan diri.
“Nama kakek, Wiryo.
Kakek dulu mantan tentara yang ikut berjuang mengusir penjajah dari negeri
kita.” Ucapnya dengan suara agak keras.
Seolah dia yakin
gue kurang percaya dengan apa yang dia katakan, beliau mengambil sesuatu dari
dalam tas besarnya.
“Kalo kamu tidak
percaya, ini kakek kenalin sama temen seperjuangan kakek dulu.” Kakek wiryo
mengeluarkan senjata api M4A1 nya. Seperti layaknya orang yang sudah mahir
“mainan” senjata, beliau melepaskan pengaman senjata yang membuat kondisi
peluru menjadi standby dan siap
nmelesat dari piston gas hingga ke kamar peluru. Entah dari mana gue
tahu-menahu soal sistem kerja senjata api. Gue Cuma bermodalkan gelar alumni
gamer point blank. Point blank itu apa? Oke, kalo gue
jelasin di sini, takutnya tulisan gue bakal ber-ending tertariknya kalian untuk
membeli senjata api dari mafia-mafia Zimbabwe.
Selanjutnya, kakek
Wiryo mulai membidik salah seorang penumpang di depan kami. Kebetulan, saat itu
hanya kami berdua yang tetap terjaga dan nggak nunduk (baca: mainan gadget) di
gerbong kereta itu.
Ngeliat kakek Wiryo
yang sudah standby membidik penumpang
di depan kami, gue langsung melihat sekitar, berharap ada batu bata atau benda
keras lainnya yang bisa gue benturkan ke kepala kakek sesat itu. Sehingga dia
sadar kalo yang sedang dibidiknya itu manusia, bukan sasaran tembak (baca: hati
gebetan).
Apa reaksi gue saat
itu? Panik, kalut. Alasannya? Gila aja lo! Ehm, panik gue beralasan. Gue takut
kalo nantinya gue dikira salah satu sindikat KKP (Komplotan Kakek
Perompak)-sebuah sindikat yang terdiri dari kakek-kakek desperate yang doyan nembakin orang-orang random dengan senjata api. Gue juga takut kalo nanti gue malah
menghabiskan masa-masa remaja gue di balik jeruji besi yang dingin, dan
bukannya terperangkap di balik jeruji cinta kamu yang hangat dan selalu bisa
membuatku nyaman. Oke, ini random,
banget.
“Hahaha, tenang,
dek! Ini Cuma senjata mainan yang baru kakek beli buat cucu kakek, kok!” Ucap
kakek perompak, ehm, maksud gue kakek Wiryo setelah ngelihat muka gue yang udah
panik klimaks.
“.....” gue, yang
nggak sanggup berkata-kata lagi, Cuma bisa tersenyum kecut. Miris.
Kemirisan gue gak
berhenti sampai di situ. Entah karena mantan serdadu atau apa, suara tawa kakek
Wiryo terdengar 23 kali lebih keras dibanding ketika dia berbicara. Alhasil,
semua penumpang yang tadinya tidur maupun yang pura-pura tidur (baca: mereka
yang nggak mau memberi tempat duduknya kepada mereka yang lebih prioritas),
menjadi menengok ke arah gue.
Entah apa yang ada
dipikan orang-orang yang ngelihatin gue itu. Saat itu, yang mereka lihat:
seorang kakek dengan senjata mainan dan seorang pemuda tambun berbadan kurus
(iya, itu gue) yang duduk di sebelahnya dengan keringat bercucuran dari
tubuhnya dan mimik wajah yang masih terlihat panik.
Mungkin yang
orang-orang pikir setelh ngelihat kondisi gue adalah: seorang pencopet yang
ngerasa gagal dan depresi setelah mengetahui sang target ternyata membawa
senjata api . . . . . mainan. Gue beneran nggak tahu apa yang ada dipikiran
orang-orang saat itu. Karena, ngebaca hati gebetan aja gue nggak bisa, apalagi
ngebaca pikiran orang-orang yang belum gue kenal?. Entah di mana korelasinya .
. . .
Saat itu, gue cuma
berharap nggak ada yang kenal gue di kereta itu. Meskipun ada, gue bakalan
pura-pura nggak kenal dan amnesia mendadak.
Sebelum terjadi
kepanikan massal, gue langssung bergegas pergi untuk mencari tempat duduk yang
lain.
“Eh, dek! Mau ke
mana?” tanya kakek Wiryo seraya menarik tangan gue.
“Ehm, mau nyari
toilet, kek!” jawab gue asal.
“Loh, bukannya di
dalam gerbong kereta itu nggak ada toilet, ya?” Pertanyaan kakek Wiryo semakin
menyudutkan gue. Antara kakek Wiryo itu terlampau jenius atau jawaban gue yang
terlalu . . . . bodoh.
Akhirnya, gue
mutusin buat balik ke tempat duduk tadi dan kakek Wiryo mulai bercerita tentang
pengalamannya dia bertempur bareng Jenderal Sudirman buat mengusir penjajah.
Iya, gue
benar-benar sudah terperangkap di dalam rahang buaya dan nantinya gue akan
dikunyah-kunyah untuk kemudian masuk ke dalam perut buaya yang penuh dengan
kemirisan.
Singkat cerita,
kakek Wiryo mengakhiri kisahnya dengan kemenangan telak Indonesia melawan
penjajah. Keren, adalah kata yang pantas untuk menggambarkan sosok kakek Wiryo.
Semangatnya dari dulu nggak pernah padam hingga sekarang. Itu semua bisa gue
lihat jelas dari balik sorot matanya.
Sesaat sebelum
turun, kakek Wiryo sempat memberikan wejangan, full bahasa jawa, yang sama
sekali nggak gue pahami. Waktu itu yang terdengar jelas ditelinga gue adalah
kata-kata: koe, rapopo, jenenge, mboten. Selebihnya? Absurd abis. Atas alasan nggak mau kehilangan momen itu, gue
langsung merogoh saku celana buat mengambil hape dan merekam setiap kalimat
yang disampaikan kakek Wiryo. Selanjutnya, oleh ibu gue, isi rekaman itu akan
di-translate dan di transkip ke dalam
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Setelah berdiskusi panjang selama 3 hari
5 malam dengan mama, akhirnya isi rekaman itu sukses gue transkip dan isinya,
“Dek, (Iya, gue masih dipanggil
“dek”), selain kakek jago menembak kepala
penjajah yang mengganggu negeri kita dulu, kakek juga jago dalam menembak
gebetan. Terbukti, dari 8 kali menembak peluru cinta ke hati gebetan, 7
diantaranya mengenai sasaran. Satu hal yang harus kamu tahu, menembak gebetan
itu butuh waktu yang pas. Alih-alih mau tepat sasaran, eh malah nggak kena
sasaran kalo kamunya terlalu gegabah. Kapan waktu yang tepat untuk menyatakan
cinta? Ketika kamu dan dia sudah merasa saling ketergantungan satu sama lain.
Ketika kamu bukan lagi menempatkan dia sebagai keinginan atau obsesimu saja,
tapi sebagai kebutuhan. Ketika kamu yakin apa yang kamu rasakan itu adalah
cinta, bukan sebatas suka atau kagum belaka dan kamu sama sekali tidak memiliki
alasan ketika mencintainya, sehingga nantinya kamu juga tidak memiliki satu
alasan pun untuk meninggalkannya.”
Belakangan ini, gue
juga mikirin jawaban dari pertanyaan yang gue buat sendiri. Pertanyaan itu
sukses bikin otak gue kehilangan fungsinya.
“Jika tidak dibutuhkan alasan ketika mencintai seseorang,
apa masih dibutuhkan alasan untuk membencinya?”
****
“Mas ....”
“Mas ....”
“Mas ..!!” Suara
yang terakhir sukses bikin gue kaget dan terbangun dari tidur gue.
“Mas, ini kereta
yang terakhir dan udah mau sampai di stasiun akhir, stasiun Depok. Mas, mau
turun di mana?” tanya seorang petugas kereta untuk memastikan kalo gue nggak
salah tujuan.
“Iya, ini saya mau
turun.” Jawab gue sambil ritual ngucek-ngucek mata layaknya orang normal yang
habis bangun tidur.
“Oh, yaudah.”
Kemudian petugas kereta itu berlalu dari hadapan gue.
Gue merogoh kantong
untuk melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 9 malam. Karena, sudah
terlalu larut, gue mutusin buat balik ke kosan dan mengurungkan niat ke kota
tua hari itu. Di sisa perjalanan, gue berusaha mengingat kembali apa yang
membuat gue tertidur di kereta. Terakhir kali yang gue inget, saat itu kakek
Wiryo lagi ngasih wejangan dengan full bahasa jawa. Mungkin karena berasa kayak
lagi di-sindenin, gue jadi ngerasa ngantuk dan akhirnya ketiduran di kereta.
Keluar dari stasiun
Depok, gue langsung mencari angkutan kota (angkot) yang bersedia gue tumpangi
sampai ke kosan dan selang beberapa menit, angkot yang gue tunggu tiba. Sebelum
naik, gue ingin memastikan dulu spesies-spesies apa yang berada di dalam angkot
tersebut. Langkah gue terhenti setelah ngelihat banyak cewek-cewek dengan
ketebalan bedak make-up yang nggak
wajar. Mereka duduk di kursi penumpang bagian belakang. Belum lagi suara
berisik mereka yang menganggu konsentrasi gue dalam memikirkan ending dari
tulisan sesat gue ini. Demi menjaga kesehatan paru-paru gue dari TBC dini
gara-gara bedak dan atas pertimbangan yang lainnya, gue memiih duduk di depan,
tepat di samping supir.
40 menit perjalanan
yang sudah ditempuh gue habisin buat mikirin gimana ending yang keren buat
tulisan sesat ini. Belum sempat menemukan ending tulisan, pikiran gue
teralihkan ketika mendengar opening sound
track anime naruto yang berjudul “Nami Kaze Satellite” yang sengaja diputar
oleh supir angkot untuk mengusir sepi. Sontak, gue langsung ngerasa sok akrab
dan jadi sok asyik dengan sang sopir. Iya, gue adalah tipikal orang yang
gampang ngerasa sok akrab dan deket dengan orang-orang random yang memiliki
kesamaan hobi dengan gue. Terakhir, gue ngerasa sok akrab dengan preman-preman
pasar Tanah Abang setelah gue tahu ternyata mereka doyan nonton spongebob.
Perjalanan hari itu gue tutup dengan duet maut karaoke bareng supir angkot
disepanjang perjalanan.
Singkat cerita (ini
udah ending nih), gue sampai di kosan dengan selamat. Saat gue bersiap untuk
tidur, gue mendapati secarik kertas yang berisi nomor hape Theresa,
keponakannya ibu kekar yang doyan banget barbelan. Tanpa menunggu status
gebetan dari single menjadi pacar orang, gue langsung menyambar hape untuk
mengirim sms ke Theresa. Sms itu baru berbalas di keesokan paginya. Balasan sms
pertama dari Theresa sukses mengagetkan gue dan membuat urat leher gue ketarik
hingga belakang gara-gara kebanyakan tersenyum gila. Apa isi balasan sms dari
Theresa? Dan kenapa bisa bikin gue kaget sekaligus senyum-senyum gila sendiri?
Coba di cek sendiri di hape gue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar