Di penghujung masa kelas 3 SMA, pasti sudah banyak pertanyaan yang timbul di kepala. “Mau kuliah dimana gue?”, “Mau ngambil jurusan apa gue nanti?”, “Gimana kalo orang tua gak setuju?”, “Kok gue masih jomblo aja,ya?”. Sebagian dari remaja-remaja SMA labil ini (termasuk gue) pasti sudah merencanakan buat ikut SBMPTN (Seleksi Buat Move-On dari Pacar Temen Nasional). Eh, maksud gue (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan seleksi ini berlangsung kurang lebih 2 hari. Dan semuanya berawal dari pagi itu..
“Dek, buruan bangun! Udah jam berapa itu!” “Kamu hari ini ada tes SBMPTN, kan?”. Ku dengar suara ibuku yang perlahan mulai menarikku dari dunia mimpi. Kakiku langsung menuntun ke ruang makan untuk mengemis sebuah makanan. Sekilas aku melirik sebuah jam berukuran agak besar di ruang tamu yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Lantas aku pun terburu-buru menarik handuk yang sudah menungguku dari tadi, karena ujiannya dimulai pukul setengah 8 pagi. Bukan, aku mengambil handuk bukan untuk membasuh diri. Melainkan untuk dijadikan bantal agar aku bias kembali ke dunia yang juga sudah menungguku. Dunia mimpi.
“Ma, udah jam berapa ini?” “Mana mas Fatur yang katanya mau ngejemput Zikri?”. Kegelisahan mulai merasuki pikiranku. Saat itu waktu sudah pukul menunjukkan 7 pagi. Dan hanya keajaiban Tuhan yang bisa membuatku dating tanpa terlambat. (Karena jarak dari rumah gue ke lokasi ujian emang jauh banget. Sejauh rasa suka gue yang belum terbalas ke mantan gebetan gue dulu. Jauh. Sangat jauh nyambungnya dimana). “Tenang, dek. Bentar lagi dia nyampe, kok”. Ucap ibuku untuk menenangkanku. Tetapi, tentu saja itu belum cukup berhasil untuk menenagkanku. Pikiranku benar-benar sudah diracuni rasa gelisah, pasrah, dan kasmaran, (Eh, maksud gue rasa takut). Takut, karena jika terlambat, aku tidak boleh mengikuti ujian dan hanya bisa melihat teman-temanku bertarung melawan soal-soal ujian demi impian mereka.
Saat itu aku hanya berpikir, jika aku gagal karena kesalahanku sendiri dalam menaklukkan soal, itu masih bisa aku terima. Terlebih aku sudah memiliki pengalaman jika ingin melakukannya lagi ditahun depan. Tapi ini? Aku mungkin sudah kalah sebelum bertarung dan itu karena kesalahan orang lain. Dan, sebelum aku dipengaruhi lebih jauh lagi oleh pikiran buruk, mas Fatur dating. Kami langsung bergegas pergi setelah berpamitan dan aku mencium tangan ibuku.
Selama perjalanan, aku hanya bisa diam. Diam sambil memikirkan alas an apa yang bisa aku sajikan kepada pengawas ujian nanti. Aku pun sampai di lokasi pertarungan, sebuah tempat berlantai dua memanjang, dan melingkar. Aku seperti masuk ke dalam colosseum dan berperan sebagai gladiator. Bukan, bukan sebagai gladiator yang bertarung hanya untuk sebuah kemenangan. Melainkan sebagai gladiator yang bertarung demi sebuah masa depan. Aku terus berlari dan mengiraukan beberapa kalimat ibu-ibu yang berada disitu untuk menunggui anaknya ujian. Namun aku sempat mendengar kalimat, “Cepetan, Dek! Ujiannya udah mulai dari tadi!” yang berasala dari seseorang dari mereka yang tentu saja tidak aku kenal.
Sampai langkahku terhenti untuk menanyakan letak ruangan ujianku kepada seorang pemuda yang mungkin sudah disiapkan untuk itu. “Mas, ruang 14 dimana, ya?” tanyaku tergesa-gesa. “Ini lurus, naik tangga trus belok kanan”. “Kalo yang terlambat, masih boleh ikut ujian kan, mas?” tanyaku untuk memastikan. ‘Boleh, kok”. Jawabnya yang sekaligus sedikit menenangkanku. Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu dan mengucap salam. Aku langsung mengerjakan soal setelah sebelumnya meminta maaf kepada pengawas karena dating terlambat.
1, 2, 10 soal sudah berhasil aku kalahkan. Sesekali aku melirik wajah peserta lain untuk melihat ekspresi mereka. Banyak dari mereka yang terlihat jenuh, tegang, sampai sudah menggenggam botol obat nyamuk yang siap untuk diminum. (Ini beneran bercanda). Hingga aku melihat seorang perempuan yang tetap terlihat tenang meskipun dia tahu bel penanda ujian telah usai bisa berbunyi kapan saja. Dia adalah seorang gadis yang duduk tiga baris ke kanan dari posisi tempat dudukku, berjilbab, berkulit putih, serta kacamata yang menghiasi wajahnya. Perlahan aku mulai mengaguminya. Yes, I like her in the first sight, (Entah ini artinya apa). Tapi, terlalu jauh untuk mengakui aku jatuh cinta padanya. Terlalu jauh. Sangat jauh. Karena aku hanya tertarik untuk berteman dengannya. Dan bahkan, sampai saat ini aku belum menemukan alasan yang masuk akal untuk berpacaran. (Ini alasan paling elegan kenapa gue masih jomblo aja, sampai sekarang).
Hari kedua ujian, aku mengawalinya dengan cukup baik. “Tapi, dimana dia” “Dimana gadis ber-pembawaan tenang itu?” batinku mulai berucap-ucap tidak karuan. Tak lama setelah itu, dia pun datang dan batinku mulai tenang. Selanjutnya, aku melakukan seperti dihari sebelumnya. Bertarung mengalahkan soal dan begitupun dengan dia. Hingga ujiannya usai dan mungkin itu terakhir kali akau melihatnya.
Ini adalah hari dimana para petarung SBMPTN itu melihat hasil dari pertempuran mereka. Yang menang, berarti mereka telah mengalahkannya dengan baik. Dan yang kalah, berarti mereka belum cukup kuat dan harus terus berlatih. Perlahan aku melihat hasil pengumuman itu. Dan ternyata aku belum cukup kuat dan masih harus terus berlatih untuk bisa mengalahkan monster bernama SBMPTN itu. “Ma, Zikri belum lulus tesnya” ucapku penuh rasa kecewa. “Iya, gapapa. Berarti itu belum rezeki kamu dan kamu harus banyak belajar lagi”. Aku tahu, pasti saat ini aku sudah mengecewakan ibuku. Dan percakapan kami terhenti saat mendengar, “Assalamualaikum” suara yang cukup asing bagiku dan suara yang terdengar cukup tua untuk usia teman-temanku. “Sebentar, mama liat dulu,ya” ucap ibuku sembari meninggalkanku. Aku membaringkan tubuhku sambil membuka twitter. Mungkin twitter bisa menjadi alasanku untuk menghibur diri. “Zikri, itu ada yang datang. Mereka saudara kita dari Jakarta, kamu keluar dulu, gih”. ‘Males, ma” jawabku sambil terus sibuk melihat timeline twitter. Ya, memang sudah sewajarnya jika mendekati bulan ramadahan, kerabat dekat akan berdatangan untuk bersilahturahmi. Hingga pikiran ku berubah saat membaca retweetan temanku yang isinya, “Tamu adalah raja. Dan sebuah kesalahan besar tidak menyambut tamu dengan baik”. What the hell? Apa-apaan ini? Makiku dalam batin. Aku langsung bergegas untuk menemui tamu-tamuku.
Dan siapa yang aku lihat? Seorang gadis ber-pembawaan tenang itu dan kedua orang tuanya. Aku benar-benar tidak tahu bahwa kami punya kerabat dekat di Jakarta. Aku langsung menyalami mereka dengan sedikit gugup. Hingga gadis ber-pembawaan tenang itu menegurku, “Hmm.. kamu yang kemarin SBMPTN hari pertama datengnya telat, kan? Aku Andhira.” Ucapnya seraya memberikan tangannya untuk berjabat tangan denganku. “Sial, hanya itu yang dia ingat dari gue, eh tadi apa dia bilang? KAMU?” batinku mulai berucap. “Haha, iya itu gue, eh, maksudnya aku. Tapi dihari kedua gue, eh maksudnya aku datengnya lebih cepet dari kamu. Aku zikri.” jawabku sedikit mengejeknya. “Gimana hasil SBMPTNnya?” tanyanya lagi. “Haha, masih belum rezeki kayaknya’ jawabku sedikit menutupi kekecewaan. Selanjutnya kami terlibat percakapan yang panjang sampai dia pulang. Kami bertukar nomor handphone untuk berbagi pengalaman.
Dan selanjutnya? Kami pun berteman hingga sekarang. Dan saat ini aku sangat percaya pada sebuah kalimat yang mengatakan, “Tuhan adalah sebaik-baiknya pembuat rencana” dan tentu saja pemberi kejutan yang hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar